Sabtu, 05 Maret 2016

Bagaimanakah Pertumbuhan Industri Hiburan di Korea Selatan ?

 “Gangnam style” dari penyanyi rap PSY  adalah klip musik Korea yang untuk pertama kali pernah ditayangkan hampir 100 juta kali di Youtube. Rekor ini merupakan hal yang pertama kali bagi musik pop Korea. Sejak dirilis pada 15 Juli 2012 lagu tersebut  meraih sukses secara global. Psy meraih peringkat 2 dalam tangga lagu American Billboard dan peringkat 1 di tangga musik Cina. Kesuksesan ini mendorong Universal Republic Records untuk mengontrak Psy untuk merilis albumnya di Amerika. Kesuksesan serupa tidak hanya berhenti di situ, akan tetapi nampaknya akan diikuti oleh banyak lagu-lagu Korea yang lain. Musik pop Korea telah ada selama beberapa tahun. Tidak hanya di Korea Selatan atau Asia, akan tetapi juga di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Amerika, dan Eropa.

Menyaksikan keberhasilan peredaran musik pop Korea secara internasional, kita mengamati apa yang dikenal sebagai “Gelombang Korea” (Korean Wave atau istilah setempat adalah “hallyu”). Keberhasilan ini tidak hanya musik, akan tetapi juga film dan drama televisi. Khususnya di Asia, permintaan akan produk kebudayaan Korea nampaknya akan menjadi saingan bagi produk serupa dari Jepang dan Barat. Pada awalnya, produksi Jepang dan Barat mendominasi bagi tayangan musik, film, dan televisi di Asia sampai munculnya Korean Wave tersebut. keberhasilan Psy menunjukkan bahwa Korean Wave masih terus menerus memperluas eksistensinya dan memperoleh pengakuan secara global.

Bagaimanakah sebenarnya pertumbuhan industri hiburan di Korea Selatan hingga dapat berpengaruh secara global sebagai salah satu bentuk kebudayaan populer?

Pertama-tama hal itu dapat dilacak dari kebijakan kebudayaan pemerintah Korea pada tahun 1980-an. Era ini ditandai dengan pembangunan ekonomi masif dan sistem politik otoritarian. Korea mengalami kemajuan ekonomi dan masyarakatnya menjadi makmur. Rata-rata pendapatan perseorangan mula-mula US$ 54 (1968), lalu menjadi US$ 390 (1979). Setelah itu meningkat menjadi US$ 1.770 (1984) dan US$ 1.320 (1988). Pendapatan ini memungkinkan setiap penduduk Korea untuk membelanjakan uangnya dalam memanfaatkan waktu luang.

Pada saat yang sama muncul banyak huru hara politik. Presiden Park terbunuh (1979) setelah memerintah selama 18 tahun (1961-1979). Rakyat Korea berharap akan muncul pemerintahan demokratis melalui pemilu yang mengubah wajah Korea. Tetapi kemudian terjadi kudeta militer (1980) dan membentuk rezim otoriter baru (1981). Petinggi militer, Chun Doo Hwan menjadi Presiden sekalipun Chun tahu betapa banyak pihak yang menentang pemerintahannya.  Pemerintah segera menyadari perlu menjauhkan masyarakat dari aktivitas politik dan pilihan kebijakan itu adalah industri hiburan. Kebijakan yang dilancarkan dijuluki sebagai kebijakan 3S oleh media setempat. Yang dimaksud dengan 3S adalah singkatan dari Sport, Sex, dan Secreen. Untuk olahraga pemerintah mengkampanyekan “Kesejahteraan Negara Melalui Olahraga.”  Pemerintah mempromosikan baseball menjadi olahraga nasional (1981).  Liga Baseball Profesional kemudian dibentuk (1982). Asosiasi olahraga ini dikritik untuk menjauhkan orang dari aktivitas politik. Namun asosiasi ini meraih keuntungan besar.

Untuk film (screen) dan seks pemerintah menggunakan cara yang lain. Pemerintah mengendalikan jaringan televisi (1980). Hanya ada 2 stasiun televisi yang diizinkan .
2 stasiun televisi yang mendapat izin
dari pemerintah korsel
Pemerintahan Chun melakukan sensor ketat untuk mencegah siaran yang mengandung aspek politik. Dalam hal ini, muatan penyiaran politik dikontrol ketat, tetapi publikasi yang mengarah seks diizinkan. Banyak film yang diproduksi yang mengumbar aurat perempuan. Bahkan di tahun 1988 banyak film porno yang memasuki Korea, karena Presiden saat itu, Roh Taw Woo, menerapkan kebijakan luar negeri yang lebih terbuka (1987).  Sejak 1987 Korea mengalami demokratisasi dan Roh adalah Presiden yang pertama kali terpilih melalui pemilu. Roh mengkampanyekan Korea yang terbuka bagi pasar asing. Ini merupakan masa di mana impor barang meningkat tajam.

Sistem otoritarian pada tahun 1980-an tadi juga berpengaruh terhadap industri film. Pemerintah memastikan bahwa film yang diproduksi tidak mengandung muatan politik, sehingga setiap naskah film harus diperiksa terlebih dahulu. Namun kebijakan ini dihapus (1988). Pekerja film memperoleh kebebasan lebih banyak dan muncul film-film yang mendeskripsikan perubahan sosial dan politik di masa itu. Pada 1987 pasar film diliberalisasi. Kuota impor film dihapus. Kebijakan yang terbuka mempengaruhi negosiasi dengan Amerika. Pemerintah ditekan oleh Amerika untuk membuka pintu bagi masuknya film Hollywood.  Pada tahun 1987, produksi domestik menghasilkan 89 judul dan impor film mencapai 84. Produk film domestik dan impor film berubah dalam waktu selanjutnya yaitu 87 dan 175 (1988), 110 dan 264 (1989), dan 111 dan 276 (1990). Untuk tahun 2005-2010, komposisi tetap didominasi film impor, yaitu 87 dan 253 (2005), 110 dan 289 (2006), 124 dan 404 (2007), 113 dan 350 (2008), 138 dan 311 (2009), dan 152 dan 381 (2010).

Hingga tahun 1987, distribusi film asing hanya dilakukan oleh perusahaan lokal. Kemudian pemerintah mengizinkan distribusi film Hollywood. Untuk itu, perusahaan distributor film Hollywood mendirikan cabangnya di Korea. Sejak tahun 1988, impor film naik dua kali lipat. Pada tahun 1985 hampir 74,8% film diproduksi di Korea. Jumlah ini merosot terus hingga angka 13,4% (1997). Sesudah 1991 makin sedikit film domestik yang dibuat. Hal ini berhubungan dengan pemanfaatan subsidi pemerintah yang kemudian difokuskan untuk menghasilkan film-film yang lebih bermutu. Sesudah 1998 jumlah produksi film lokal bertambah sedikit demi sedikit. Pada 2010, jumlah judul yang ada mencapi 152. Pada 10 tahun sebelumnya hanya 59 judul. Jumlah impor film tetap saja tidak pernah berkurang. Pada 2010 impor film mencapai 381 judul. Seperti data di atas, maka semakin banyak film impor yang membanjiri pasar Korea. Akibatnya, 10 perusahaan distributor film lokal bangkrut (1994).

Sekalipun lebih besar dibandingkan produksi film domestik, akan tetapi jumlah film asing sebenarnya mengalami jumlah penonton. Hal ini merupakan salah satu penanda setelah munculnya video dan televisi kabel yang memutar film asing. Pada tahun 2000, pasar film domestik menguasai 35,1% pasar Korea. Artinya sebanyak 64,5% merupakan film asing. Akan tetapi pada 2003, penetrasi film domestik ke pasar Korea meningkat menjadi 46,5%, yang bertahan hingga 2006. Posisi seimbang dicapai pada 2007. Sesudah itu animo terhadap film domestik berkurang. Tahun 2008, film asing menjadi populer, akan tetapi kemudian mengalami penurunan sejak saat itu. Pada 2011, 53,6% film yang ada diproduksi di dalam negeri. Film asing menguasai 46,4% pasar film.

Drama televisi kemudian juga menjadi produk hiburan penting Korea. Produk ini menduduki peringkat pertama yang diekspor dari industri penyiaran. Drama yang populer adalah yang bersifat drama romantis dan drama sejarah. Drama-drama ini memperoleh sambutan bagus secara internasional. Kebanyakan produksi ini mencapai 60-70 episode. Setiap episode berdurasi 50 menit. Harga produksi drama meningkat tahun demi tahun. Pada 2000, stasiun televisi Taiwan, Gala TV, membayar US$ 1.000 untuk tiap episode drama Korea. Saat itu produksi yang sama dari Jepang berharga US$ 15.000 dan US$ 20.000. Dewasa ini harga tiap episode drama Korea mencapai US$ 6.000 dan US$ 12.000.

Produksi drama juga memperoleh sensor ketat pada 1980-an. Oleh sebab itu, drama televisi dijauhkan dari substansi politik. Para pembuatnya kemudian lebih senang membuat drama sejarah, karena tidak menilai situasi sekarang dan lebih “selamat.” Judul yang paling populer di masa itu adalah Founding the Country dan 500 Year of Joseon Kingdom.

Perubahan terjadi pada 1990-an. Sejak itu televisi yang ada (KBS dan MBC) memperoleh saingan baru dengan hadirnya stasiun televisi SBS.
KBS dan MBC lalu menginvestasikan banyak uang untuk meningkatkan kualitas produksi drama. Eyes of Down merupakan drama yang paling meraih sukses. Stasiun MBC membenamkan uang sebesar US$ 20.000 untuk memproduksinya. Ini merupakan investasi besar pertama kali untuk membuat produk lokal seperti drama. Serial ini meraih sukses di Korea. Pada tahun 1994, dirilis drama Jealousy yang ditujukan untuk remaja. Lagu tema drama ini mencapai puncak tangga lagu dan mendorong untuk menjual album secara khusus.  Pada 1996 dimulai era televisi kabel. Karena konsumen harus membayar, maka jaringan televisi kabel ini kemudian berkerja keras menghasilkan tayangan yang bagus.  Kompetisi produksi drama meningkat. Pada 1996, SBS meluncurkan drama politik pertama yang berjudul Sandglassyang menggambarkan kisah 3 orang rakyat dalam masa otoritarian.  Produksi ini memperoleh rating sebesar 64,5%.

Drama merupakan tayangan televisi yang paling banyak memperoleh jumlah penonton jika ditinjau dari rating yang diperoleh. Misalnya drama First Love (1997, KBS) meraih 65,8%. Apalagi tayangan itu kemudian dapat disaksikan melalui internet. Tetapi hanya MBC, KBS, dan SBS yang berhasil membuat drama ayng menarik. MBS merupakan yang paling banyak meraih untung. Dari 50 judul (1997-2004), sebanyak 25 judul diproduksi oleh MBS.

Peran televisi juga memfasilitasi produksi musik. Pada tahun 1980-an tidak ada perusahaan musik independen. Televisi yang kemudian menentukan apa yang akan ditonton oleh masyarakat. Masing-masing stasiun televisi mempunyai penyanyi dan band sendiri-sendiri. Para penyanyi harus didukung oleh band-band tersebut dan dilarang tampil dengan iringan yang dibawanya sendiri. Sebelum 1990-an, televisi memperngaruhi industri musik untuk produksi, peredaran, dan penjualan. Seperti sudah diuraikan di atas, televisi dikendalikan oleh pemerintah.

Sejak awal 1990-an, industri musik bergerak menjadi independen. Sesudah 1990 juga televisi swasta diizinkan melakukan siaran. Kehadiran televisi baru ini memanfaatkan musik sebagai program utama. Klip, rekaman konser, liputan pertunjukkan, dan wawancara dengan penyanyi pop terus menerus tampil di televisi. Industri musik menyambut peluang ini dan menggunakan televisi sebagai media untuk memasarkan arti pendatang baru. Penyanyi dari perusahaan besar seperti SM Entertaintment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment tampil di televisi secara live. Televisi kemudian berpengaruh bukan saja karena lirik musik, akan tetapi juga elemen visual. Oleh sebab itu, gaya dan gerak group musik kemudian menjadi penting. Untuk pasar domestik, musik pop memang menjadi raja, menguasai secara meningkat: 71% (1998), 74% (1999), 75% (2000), dan 76% (2001). Musik asing—dalam hal ini Jepang dan Amerika—hanya menguasai 20% saja. Semua itu tak lepas dari kebijakan pemerintah. Undang-Undang Penyiaran 2003 mewajibkan 60% tayangan televisi harus dialokasikan untuk menayangkan musik-musik populer. Musik asing menjadi sangat sulit untuk bersaing tampil di televisi Korea.

Mungkin kah Industri Hiburan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat seperti diatas ?



sumber : https://isharyanto.wordpress.com/derap-ekonomi-publik/pertumbuhan-industri-hiburan-korea-selatan/

0 komentar:

Posting Komentar